Senin, 10 Maret 2008

HAPPINESS IS THE WAY YOU ACCEPT LIFE

Liburan Jum'at kemarin (7 Maret) aku pakai untuk ketemuan sama Leila dan Dici, teman-teman sewaktu masih bekerja di Lintas. Aku terkejut ketika melihat mereka sangat kurus-kurus (apa aku yang kelewat gemuk ya...?). Tadinya aku mengira, Dici akan menyerahkan udangan pernikahanya, tapi ternyata..dia malah curhat kalau calon suaminya sedang menghadapai operasi by pass jantung. Oh no. Tapi - seperti biasa - Dici tak menampakkan kegundahan hatinya. Ia masih saja tersenyum dan tertawa. Aku dan Laura berkomentar:
"Tapi lu masih aja ceria tuh Dic? Ketawa-ketawa..?"
"Ah, masa? Beda nih, ketawanya..?" jawab Dici.
Ketika aku perhatikan, benar... pancaran mata Dici memang tak secemerlang ketika ia mengenalkan Suren - pacarnya - beberapa bulan lalu.

Ketika obrolan berlanjut, kami masing-masing mulai bercerita tentang kehidupan kami, masalah2 kami, dan masalah2 teman-teman kami: Nona, Mingga, Chilli, Oyen, Ebi dll. dsb. Dan ketika tiba giliranku untuk menceritakan masalahku, aku sulit sekali menyampaikanya. Kenapa? Karena aku tak merasa punya masalah yang berarti! Ya, betapa tidak? Aku memiliki suami yang baik, anak-anak yang saleh, ekonomi yang cukup, dan kesehatan yang baik. Apalagi yang hendak aku keluhkan? Sementara setiap pagi aku melihat ibu-ibu antri minyak tanah, aku ada di sini di sebuah cafe sedang ngobrol-ngobrol dengan teman-teman... tidakkah itu layak membuatku menisbikan semua masalah?

"Elo tuh sebenernya bukannya ngga punya masalah Nu, tapi elo-nya aja yang ngga menganggap masalah lu sebagai masalah..!"
Laura ada benarnya. Kalau difikir-fikir sih... aku di kantor lagi punya masalah (soalnya ada perombakan besar-besaran di kantor yang akhirnya berbuah keserahan di antara tim kreatif), di rumah juga punya masalah (motor pada rusak, laptop mati, PC juga rusak, suami juga lagi nyebelin), duit ngga sebanyak yang aku mau (anak-anak minta LCD monitor belum aku beliin, suami mau buka Usaha tapi uang masih di deposito, mau beli notebook baru masih mikir2, mau bikin web baru nunggu gajian, ibu di Solo belum aku kirimin uang..) hehe... banyak sih... tapi apalah arti masalahku ini dibanding segala karunia yang telah kudapatkan?

Aku selalu lebih suka melihat segala sesuatu dari sisi baiknya saja. Soalnya, kalau kita hanya terpaku pada sisi jelek, maka hati kita akan kecil, dan hidup kita hanya dipenuhi dengan keluh kesah... aku ngga suka itu! Aku lebih suka hatiku dipenuhi dengan harapan, dan penghiburan.

Pernah suatu kali, aku bertemu dengan seorang klien yang secara kasat mata lebih segala-galanya dari aku. Namun apa yang ia katakan padaku?
"You are so lucky!" begitu katanya. Sebab menurut dia, aku memiliki kebebasan yang dia tidak punya (klien-ku ini seorang wanita muda funky yang masih kerabat konglomerat rokok Indonesia, yang terpaksa bekerja di perusahaan keluarganya, tanpa kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri). Oh... ternyata gitu ya. Kebebasan, ternyata diimpikan oleh mereka yang bergelimang harta... hal yang diinginkan oleh hampir semua manusia.

Jadi, apakah sebenarnya kebahagiaan?

Menurut aku, kebahagiaan tergantung dari the way you accept life, dan bukan pada what you have in life. Karena itu, aku katakan pada Dici:
"Luckily, kamu masih punya Suren. Meskipun saat ini dia sedang punya masalah kesehatan, tapi setidaknya... kamu masih memilikinya."
Ya.. semoga Dici bisa melihat sisi positif dari keadaan yang sedang menimpanya. Sebab di luar sana, masih banyak jomblo-jomblo kesepian yang merindukan seseorang untuk dimiliki.

Hei, bukankah nabi pernah bersabda:
"Lihatlah pada orang-orang yang lebih rendah dari padamu, ketika itu menyangkut masalah dunia..."? Sungguh nasehat yang amat bijak. Dengan melihat mereka yang lebih menderita dari kita, maka kita akan bisa lebih mensyukuri hidup.. dan pada giliranya, kita akan lebih berbahagia dengan apa yang kita miliki..!